Saturday, June 2, 2012

“Kurangkan dirimu daripada melakukan dosa, maka akan mudahlah bagimu ketika hendak mati. Kurangkan daripada berhutang nescaya kamu akan hidup bebas”.

(Riwayat Baihaqi)

“Penangguhan hutang oleh orang yang berkuasa membayarnya, adalah satu kezaliman, halal maruah dan hukuman ke atasnya (iaitu pemberi hutang boleh mengambil tindakan ke atas diri dan maruahnya).”

(Riwayat Ibnu Majah)
Kenapa ganjaran lebih besar diberikan kepada orang yang memberikan pinjaman atau memberikan orang berhutang:

Nabi SAW bersabda yang bermaksud: "Sesuatu yang dipinjamkan oleh seseorang Muslim kepada Muslim yang lain sebanyak dua kali seperti bersedekah sekali (riwayat Ibn Hibban)."

Daripada Anas bin Malik r.a berkata Rasulullah SAW bersabda: "Aku melihat di malam aku diisrakkan ke langit tertulis di pintu syurga, digandakan sedekah dengan sepuluh gandaan dan digandakan al-qard dengan 18 gandaan, lalu aku bertanya kepada Jibril, adakah al-qard lebih afdal dari sedekah? Jibril berkata: peminta akan meminta walaupun ketika dia memiliki (sesuatu barangan) dan peminjam tidak akan meminjam kecuali kerana keperluan. (riwayat Ibn Majah, 2/812)

Kedua-dua hadis di atas menunjukkan Allah SWT akan memberi ganjaran pahala bagi mereka yang memberi pinjaman untuk membantu dan bagi menghulurkan pertolongan kepada mereka yang memerlukan.

Hutang Penghalang untuk Masuk Syurga

Dan dalam hadith yang lain daripada Ibnu Umar Radiallahu Anhuma Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah :-

Maksudnya : Sesiapa mati, sedangkan dia masih menanggung hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan diambil ganti daripada kebaikannya, kerana di sana tidak ada dinar dan tidak ada pula dirham.

Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam selalu berdoa kepada Allah Subhanahu Wataala supaya terhindar dari berhutang. Doa baginda itu :- Ertinya : Ya Tuhanku, aku berlindung diri kepadamu dari bebanan hutang dan dari dikuasai orang lain.

Sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam At-Termizi dan Imam Ahmad dan Imam Ibni Hibban :- Maksudnya :

Roh seseorang mukmin itu tergantung yakni dihalang daripada tempat yang mulia dengan sebab hutangnya sehinggalah hutangnya itu dijelaskan.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam ada menjelaskan dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:- Maksudnya :

Sesiapa mengambil harta orang lain (berhutang) dan berniat akan membayarnya, maka Allah akan luluskan niatnya itu. Tetapi sesiapa mengambil dengan niat akan membinasakannya dengan tidak membayarnya maka Allah akan membinasakan dia.

Sumber dari Jabatan Hal Ehwal Masjid Brunei http://www.masjid. gov.bn/teks_ khutbah/1424/ Muharram/ 11.htm

HUTANG PENGHALANG UNTUK MASUK SYURGA

“Dari Abu Hurairah Radiallahuanhu dari Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, Baginda bersabda: Orang kaya yang sengaja melengah-lengahkan pembayaran hutang adalah suatu kezaliman.”(Riwayat Al-Imam Al-Bukhari.)

Pada keesokan harinya seorang sahabat telah bertanya kepada Baginda: Wahai Rasulullah apakah yang sangat dahsyat yang telah turun itu? Baginda bersabda yang bermaksud:

“(Yang turun dahsyat itu) ialah mengenai hutang maka demi diri Muhammad di tangan-Nya (Allah Subhanahu Wataala), kalaulah seorang itu mati di dalam perang Sabilillah kemudian dihidupkan semula kemudian mati lagi dalam perang Sabilillah, kemudian dihidupkan semula akan tetapi ia ada mempunyai hutang yang belum dibayar maka ia tidak akan dimasukkan ke dalam Syurga sehinggalah hutangnya itu dibayarkan atau diselesaikan.”(Riwayat Al-Imam Ahmad).

Sumber dari Kementerian Hal Ehwal Ugama Brunei

Meninggal Dunia Dalam Keadaan Berhutang:
Bagaimana Nasibnya?

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1079, katanya: hasan. Ibnu Majah No. 2413. Ahmad No. 10607. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6891, 11048, 11193, 17604 Syu’abul Iman No. 5543. Juga dalam As Sunan Ash Shaghir No. 1615, 1812. Al Hakim, Al Mustadarak ‘alsh Shahihain No. 2219, Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/93/209. Ad Darimi No. 2591. Abu Ya’la No. 6026. Ibnu Hibban No. 3061, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 2390, 2512. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 15488)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 10607). Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6026). Imam Al Hakim menyatakan shahih sesuai standar Bukhari-Muslim, tapi mereka berdua tidak meriwayatkannya. (Al Mustadrak No. 2219). Syaikh Al Albani mengatakan shahih. (Shahihul Jami’ No. 6779, Misykah Al Mashabih No. 2915. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1078). Imam Ibnu Hajar mengatakan hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dan selainnya. (Fathul Bari, 7/461). Imam Asy Syaukani mengatakan para perawi hadits ini tsiqat (kredibel), kecuali Umar bin Abi Salamah bin Abdirrahman, dia jujur tetapi ada kesalahan. (Nailul ‘Authar, 6/114)

Syarah Hadits:

Hutang, walaupun sedikit tetaplah hutang, dia harus dibayarkan sebelum wafat. Jika tidak, maka akan menjadi hambatan bagi orang tersebut setelah wafatnya. Walau pun dia orang shalih dan mati syahid. Oleh karenanya, hendaknya ahli warisnya melunasi untuk kebaikan mayit tersebut di akhirat.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

فيه الحث للورثة على قضاء دين الميت والإخبار لهم بأن نفسه معلقة بدينه حتى يقضى عنه

Dalam hadits ini terdapat dorongan bagi ahli waris untuk melunasi hutang si mayit, dan pengabaran bagi mereka bahwa jiwa mayit tersebut tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu lunas. (Nailul Authar, 4/23)

Jika belum dilunasi, maka jiwa mayit tersebut “tergantung” ……. Apa makna tergantung?

Para ulama berselisih pendapat dalam memaknai mu’allaqah (tergantung) dalam hadits ini. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarfkafuri Rahimahullah menjelaskan:

قال السيوطي أي محبوسة عن مقامها الكريم وقال العراقي أي أمرها موقوف لا حكم لها بنجاة ولا هلاك حتى ينظر هل يقضى ما عليها من الدين أم لا انتهى

Berkata As Suyuthi, yaitu orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/193)

Ada juga yang memaknai bahwa jiwa orang tersebut masyghul (gelisah) karena hutangnya. Hal itu dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah sebagai berikut:

وهذا الحديث من الدلائل على أنه لا يزال الميت مشغولاً بدينه بعد موته، ففيه حث على التخلص عنه قبل الموت، وأنه أهم الحقوق، وإذا كان هذا في الدين المأخوذ برضا صاحبه فكيف بما أخذ غصباً ونهباً وسلباً؟

Hadits ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan senantiasa gundah (masyghul) dengan hutangnya setelah dia wafat. Pada hadits ini juga terdapat anjuran untuk membersihkannya dari hutang sebelum wafat, karena hutang adalah hak yang paling penting. Hal ini jika pada hutang yang diberikan menurut kerelaan pemiliknya, maka apa jadinya pada harta yang mengambilnya secara paksa dan merampas? (Subulus Salam, 2/92)

Bukan hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak mau menshalatkan jenazah yang masih memiliki hutang, padahal jika Beliau menshalatinya maka itu menjadi syafaat bagi mayit tersebut. Namun Beliau membolehkan para sahabatnya untuk menshalatkannya.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan: وَكَانَ إذَا قُدّمَ إلَيْهِ مَيّتٌ يُصَلّي عَلَيْهِ سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَمْ لَا ؟ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَلّى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُصَلّ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يُصَلّوا عَلَيْهِ فَإِنّ صَلَاتَهُ شَفَاعَةٌ وَشَفَاعَتَهُ مُوجَبَةٌ Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit, pen) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang niscaya. (Zaadul Ma’ad, 1/503) Dan, mayit yang berhutang juga terhalang masuk surga walau dia mati syahid. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat berikut:

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن

“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim No. 1886, Ahmad No. 7051, Abu ‘Uwanah No. 7369, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2554, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 11110)

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi. (HR. Ahmad No. 22546, An Nasa’i No. 4684, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 556 dan Al Awsath No. 270, Al Hakim No. 2212, katanya: shahih. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10754, ‘Abdu bin Humaid No. 367, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Aahad wal Matsaani No. 928. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’ No. 3600

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan:

فيه تنبيه على أن حقوق الاَدمين والتبعات التى للعباد لا تكفرها الأعمال الصالحة وإنما تكفر ما بين العبد وربه

Pada hadits ini terdapat peringatan bahwa hak-hak yang terkait dengan manusia dan tanggungannya, tidaklah bisa dihapuskan dengan amal shalih, sebab amal shalih itu hanya menghapuskan hal-hal yang terkait antara manusia dengan Rabbnya. (Ikmalul Mu’allim, 6/155. Al Syarh Shahih Muslim, 6/362)

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

والمراد به جميع حقوق العباد من نحو دم ومال وعرض فإنها لا تغفر بالشهادة وذا في شهيد البر أما شهيد البحر فيغفر له حتى الدين لخبر فيه

Maksud hutang di sini adalah semua hak manusia baik berupa darah, harta, dan kehormatan. Hal itu tidaklah bisa diampuni dengan mati syahid, itu untuk syahid perang darat, ada pun syahid perang laut, maka dia diampuni termasuk hutangnya, berdasarkan adanya riwayat tentang itu. (Faidhul Qadir, 6/599. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Libanon)

Demikian nasib orang berhutang jika dia wafat.

Lalu, hutang atau orang berhutang yang seperti apakah yang dimaksud hadits di atas? Apakah semua orang berhutang lalu meninggal maka keadaannya seperti itu? Atau untuk hutang tertentu?



Hutang diatas -yang membawa dampak buruk bagi mayit- adalah hutang yang dilakukan oleh orang yang tidak berniat untuk melunasinya, padahal dia mampu. Ada pun bagi yang berniat melunasinya, tetapi ajal keburu menjemputnya, atau orang yang tidak ada harta untuk membayarnya, dan dia juga berniat melunasinya, maka itu dimaafkan bahkan Allah Ta’ala yang akan membayarnya.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: ويكون هذا فيمن له بقضاء ما عليه من الدين



Hal ini berlaku bagi orang yang memiliki sesuatu (mampu) untuk melunasi hutangnya. (Al Ikmal, 6/155)

Berkata Imam As Syaukani Rahimahullah:

وهذا مقيد بمن له مال يقضى منه دينه وأما من لا مال له ومات عازمًا على القضاء فقد ورد في الأحاديث ما يدل على أن اللَّه تعالى يقضي عنه

Ini terikat pada siapa saja yang memiliki harta yang dapat melunasi hutangnya. Ada pun orang yang tidak memiliki harta dan dia bertekad melunaskannya, maka telah ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan melunasi untuknya. (Nailul Authar, 4/23)

Juga dikatakan oleh Imam Ash Shan’ani Rahimahullah: ويحتمل أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء

Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)

Ini juga dikatakan Imam Al Munawi: والكلام فيمن عصى باستدانته أما من استدان حيث يجوز ولم يخلف وفاء فلا يحبس عن الجنة شهيدا أو غيره

Perbincangan tentang ini berlaku pada siapa saja yang ingkar terhadap hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya. (Faidhul Qadir, 6/ 559)

Ada beberapa riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan bahwa orang yang berhutang lalu dia wafat dalam keadaan tidak ada kemampuan, padahal berniat untuk melunasinya maka Allah Ta’ala yang akan membayarkannya.

Dari Maimunah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا

“Tidaklah seorang muslim berhutang, dan Allah mengetahui bahwa dia hendak menunaikannya, melainkan Allah Ta’ala akan menunaikannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah No. 2408, Ibnu Hibban No. 5041, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 61, An Nasa’i No. 4686, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 6285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2408, dan Shahihul Jami’ No. 5677)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa mengambil harta manusia dan dia hendak melunasinya, maka niscaya Allah akan melunaskan baginya. Barangsiapa yang mengambil lalu hendak menghancurkannya maka Allah akan menghancurkan dia.” (HR. Bukhari No. 2387, Ahmad No. 8733, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 2146)

Kesimpulan:

Orang yang wafat –walau pun mati syahid- dalam keadaan berhutang yang tidak ada itikad baik untuk melunasinya padahal ada kemampuan untuk itu maka Allah Ta’ala menggantungkan nasibnya diakhirat, sebab hutang tersebut tidaklah terhapus dengan amal shalih, kecuali sampai hutang itu lunas. Maka hendaknya ahli warisnya mengetahui hal itu dan melunasinya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan orang berhutang, namun memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya. Ini bermakna orang tersebut tidak mendapatkan syafaatnya dari sisi ini. Jumhur ulama mengatakan orang berhutang tetap dishalatkan.

Orang yang berniat membayar hutangnya, atau bagi orang yang tidak ada kemampuan, tetapi dia keburu wafat dan tidak sempat melunasinya, maka akan Allah Ta’ala yang akan menggantikanya. Wallahu A’lam

Dosa Tak Diampun Jika Lengah Bayar Hutang


Definisi dan konsep:

Menurut perspektif Islam hutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahawa orang yang diberi pinjam itu akan membayar dengan kadar sama.

Penerangan dan huraian:

Amalan berhutang kini menjadi persoalan biasa di kalangan masyarakat Islam. Sama ada ia atas nama pembiayaan peribadi, pelajaran, kereta, pemilikan kad kredit dan pelbagai skim ditawarkan syarikat perbankan, rata-rata ia memberi maksud hutang. Malah, kewujudan “Ah Long” juga adalah mata rantai kepada urusan pinjaman dan hutang.

Persoalan hutang dan pinjam meminjam adalah antara perbahasan yang berada dalam ruang lingkup perspektif Islam dan ia terikat dengan hukum ditetapkan syarak. Ianya dibahas dan dikupas oleh sarjana Islam dalam kitab fiqh menerusi keterangan yang ada dalam ayat al-Quran dan Hadis Nabawiyah.

Firman Allah S.W.T bermaksud:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (Surah al-Baqarah ayat 282).

Dalam ayat sama Allah melanjutkan Firman-Nya bermaksud:

“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menulisnya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah, maka hendaklah ia menulis dan orang yang berhutang itu mengimlakkan (menyebutkan) mengenai apa yang ditulis itu dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan jangan ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

Jika berhutang itu orang lemah akalnya atau lemah keadaan dirinya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya (penjaga) mengimlakkan butiran hutang itu dengan jujur. Persaksikanlah (urusan penulisan hutang itu) dengan dua orang saksi lelaki dari kalangan kamu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh dengan seorang saksi lelaki dan dua orang perempuan sebagai saksi yang kamu redhai supaya jika salah seorang lupa (butiran hutang piutang), maka seorang lagi boleh mengingatkannya”.

Ayat ini menjelaskan bahawa Islam membenarkan amalan berhutang dengan pelbagai syarat dan peraturan supaya kezaliman di antara manusia tidak berlaku dan urusan pinjaman berlaku secara adil dan reda meredai.

Secara dasarnya Islam membolehkan kepada seseorang untuk berhutang atas faktor yang memaksa seperti masalah kesempitan hidup. Namun begitu, perlu diperjelaskan di sini bahawa bebanan bakal diterima si penghutang adalah berat, terutama jika hutang tidak dibayar. Lebih berat jika dia meninggal dunia dalam keadaan hutang tidak dilangsaikan.

Kepada si pemberi hutang, sebenarnya kesudian memberi pinjam kepada orang lain adalah digalakkan terutama kepada mereka yang berkemampuan dan berpendapatan tinggi. Orang yang memberi hutang termasuk dalam golongan mereka yang berhati mulia. Mereka memberi pertolongan kepada golongan yang memerlukan dan mereka akan diberi pahala daripada Allah.

Firman-Nya yang bermaksud :
“Dan bertolong-tolonglah kamu atas tujuan kebaikan dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perkara dosa dan permusuhan.” (Surah al-Maidah ayat 2)

Ia diperkuatkan lagi dengan sabda Rasulullah bermaksud:

“Barang siapa melapangkan dari orang mukmin kedukaan dunia, nescaya Allah akan melapangkan dia dari satu kedukaan pada hari kiamat, dan barang siapa memudahkan atas orang yang susah, nescaya Allah akan memudahkan atasnya dalam urusan dunia dan akhirat.” (Riwayat Muslim – 032/6250)

Ketika menjelaskan hadis ini, Imam al-Nawawi dalam kitabnya Hadis 40 menyebut secara jelas satu contoh menarik iaitu mengenai adab berhutang. Beliau menyebut kemudahan kepada orang yang susah atau yang sempit jika dalam urusan hutang ialah memberi tempoh sewajarnya untuk pembayaran hutang selepas orang yang berhutang itu tidak berkemampuan membayarnya, malah lebih mulia lagi jika hutang itu digugurkan atau diberi beberapa kemudahan lain untuk menjelaskan hutang itu.

Perkara zalim dalam urusan hutang piutang mesti dielakkan dan dijauhkan seperti mengenakan riba’, faedah dan bunga yang tinggi kerana ia ternyata membebankan si penghutang. Lebih parah dengan kadar bunga yang terlalu tinggi menyebabkan berlaku nilai bunga yang sepatutnya dibayar semula jauh lebih tinggi daripada kadar wang dipinjam. Ia ternyata penganiayaan kepada manusia lemah dan tidak berkemampuan.

Kepada orang berhutang pula, sebaik-baiknya berusaha dengan tangan sendiri sebelum mengambil keputusan meminta-minta atau berhutang dengan orang lain. Orang yang suka berhutang seolah-olah menafikan kebolehan yang ada pada dirinya untuk berusaha sendiri mencari rezeki keperluan hidup.

Sebaik-baiknya cubalah elakkan diri daripada berhutang. Namun, apabila keadaan terlalu mendesak dan tiada jalan lain untuk memperoleh wang, maka di sinilah Islam membenarkan amalan berhutang.

Apabila sudah mula meminjam, aturkan jadual pembayaran hutang secara berterusan dan konsisten mengikut jadual serta menepati syarat perjanjian supaya tidak menimbulkan masalah pada kemudian hari. Cuba elakkan daripada mengambil kesempatan melambat-lambatkan pembayaran hutang kerana ia bukan sahaja menyusahkan diri sendiri malah kepada orang yang memberi hutang.

Ada beberapa ingatan daripada Rasulullah kepada mereka yang berhutang, sama ada yang suka berhutang, melambat-lambatkan pembayaran hutang atau mereka yang tidak melangsaikan hutangnya.

Rasulullah turut memberi ingatan bahawa jika seseorang itu meninggal dunia, sedangkan dia masih berhutang, dosanya tidak akan diampunkan walaupun dia mati syahid dalam peperangan.

Seseorang yang berhutang hendaklah berikhtiar dan berusaha membayar hutang yang dipinjamnya kerana hutang itu wajib dibayar. Tindakan menunda atau melewatkan pembayaran hutang dilarang kerana itu satu kezaliman.

Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya:

“Penundaan hutang bagi mereka yang mampu adalah satu kezaliman.” (Riwayat Bukhari – 41/585)

Sementara itu, sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Melayu ketika menurunkan jenazah dari atas rumah menuju ke tanah perkuburan, waris si mati akan mengumumkan kepada orang yang hadir supaya menuntut mana-mana hutang yang ditinggalkan si mati.

Berkaitan hutang juga, roh si mati hanya akan bebas selepas segala hutangnya dijelaskan oleh warisnya atau sesiapa yang sanggup mengambil alih untuk menjelaskan hutangnya itu seperti orang perseorangan mahupun baitulmal.